Indonesia dalam Cengkraman Neolib

Data, Fakta dan Gagasan

Oleh: Hatta Taliwang

Mantan Presiden AS, Richard Nixon pada suatu ketika berujar bahwa dirinya menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Baginya, Indonesia ibarat real estate terbesar di dunia yang tak boleh jatuh ke tangan saingan AS, seperti Uni Soviet dan China. Hal ini sebagaimana dikutip wartawan senior. Budiarto Shambazy dalam buku John Perkins “Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional”.

Setelah 40 tahun dari pesan Nixon itu disampaikan, apa yang kemudian terjadi? Publik dipersilahkan mengelus dada, karena minyak, emas, batubara, tembaga dan lainnya sudah hampir kering dijarah asing. Belum lagi jeratan hutang yang melilit bangsa ini.

Sedikit menengok ke belakang, pada masa Raffles ( 1811), pemilik modal swasta hanya boleh menguasai lahan maksimal 45 tahun, di masa Hindia Belanda (1870) hanya boleh menguasai lahan maksimal selama 75 tahun. Pada saat sekarang, dimasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sesuai dengan UU No. 25/ 2007 pemilik modal diperbolehkan menguasai lahan selama 95 tahun, seabad kurang lima tahun.

Penguasaan teritorial Indonesia, tanah dan laut telah dibagi dalam bentuk Kontrak Karya (KK) Migas, KK Pertambangan, HGU Perkebunan, dan HPH Hutan. Total 175 Juta Hektar (93% luas daratan Indonesia) milik pemodal swasta/ asing { Sumber: Salamuddin Daeng, Institut Global Justice (IGJ)}.

Nelangsa ini ditambah dengan jumlah 85% kekayaan migas, 75% kekayaan batubara, 50% Kekayaan perkebunan dan hutan dikuasai modal asing. Hasilnya 90% dikirim dan dinikmati negara-negara maju.

Beberapa tahun terakhir impor gula mencapai 1,6 juta ton, kedelai 1,8 juta ton, jagung 1,2 juta ton, makanan ternak 1 juta ton, garam 1,5 juta ton, kacang tanah 100 ribu ton. Bahkan pemerintah pernah mengimpor beras sebanyak 2 juta ton.

Hal demikian itu merupakan sebuah ironi belaka. Di satu sisi, Indonesia adalah negara yang memiliki potensi pertanian yang besar, tapi di sisi yang lain mendatangkan bahan-bahan yang seharusnya tumbuh subur di negeri ini. Karena itu, sudah dapat dipastikan ada kesalahan kebijakan yang diambil Pemerintah Indonesia menyangkut sektor pertanian. Kondisi ini mengindikasikan adanya agensi kapitalis yang bermain dibalik penindasan para petani Indonesia.

Pada aspek penerimaan negara bidang mineral dan batubara (minerba) hanya 3 persen (21 trilyun pada tahun 2006). Padahal kerusakan lingkungan dan hutan yang terjadi akibat penamabangan sangat dahsyat dan mengerikan. Sebuah hasil yang timpang, tidak seimbang.

Bahkan, hasil tersebut sangat jauh dibandingkan dengan devisa remittance Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mencapai 30 trilyun pada tahun yang sama. Melihat hal demikian ini, timbul pertanyaan, kemanakah larinya hasil emas, tembaga, nikel, perak, batubara, timah, aluminium dan seterusnya, yang diduga nilainya ribuan trilyun itu?

Bagaiman dengan realitas kemiskinan di Indonesia? Data Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2006, misalnya berjumlah 39 juta. Asumsinya pendapatan perhari 5.905,-. Namun, jika memakai standar Bank Dunia yang menjadi standar Internasional dengan pendapatan US$ 2 perhari, maka orang miskin di Indonesia kurang lebih 144 juta jiwa (65%).

Bagaimana dengan persaingan antara pasar modern dan tradisional? Di Indonesia terdapat sekurang-kurangnya 63 hypermarket, 16 supermarket di 22 kota termasuk alfamart dan jaringannya di seluruh Indonesia. Fenomena ini kemudian menambah kengerian. Nasib para pedagang warung-warung kelontong ‘rela tak rela’ harus tergilas. Dengan mengatasnamakan liberalisasi, perijinan berdirinya hypermarket sangat longgar dan pasar-pasar tradisional semakin terpinggirkan.

Bagaiman dengan ketersediaan perumahan bagi masyarakat? Ada 39 juta lebih rakyat Indonesia tidak punya rumah tinggal. Di zaman Orde Baru (Orba) ada rumus pembangunan rumah tinggal “ 1,3,6” yang berarti setiap membangun satu rumah mewah ada kewajiban bangun tiga rumah menengah dan enam rumah sederhana. Namun, kekuatan lobi kapitalis membuat rumus tersebut redup.

Justru yang muncul ke permukaan wanita-wanita cantik di layar kaca yang berceloteh tentang rumah idaman. Bersamaan dengan itu, jutaan rakyat kecil di gang-gang kumuh menonton kemolekkan “agen kapitalis” tersebut sambil merenung tentang harga apartemen yang “Cuma satu koma empat milyar”.

Di pihak lain, para purnawirawan dan veteran pejuang kemerdekaan risau dengan nasib rumah yang dihuninya. Lalu benarkah Negara menyejahterakan rakyatnya? Tanah dan bangunan untuk siapa?

Crime Democracy

Setelah merenungi data dan fakta tentang Indonesia di atas, maka terdapat beberapa kesimpulan bahwa Indonesia sejak awal Orba sampai sekarang telah terjebak dalam hutang yang dahsyat jumlahnya yang menjadi beban tanpa ujung.

Jebakan hutang itu mengakibatkan Indonesia tersandera. Pihak asing dengan semangat kolonialisme dan imperialismenya meminta semacam kompensasi yakni keleluasaan untuk menguasai/ mengelola kekayaan alam (migas, mineral, batubara) dengan alasan agar ada jaminan untuk membayar hutang yang berakibat, secara politik dan ekonomi Indonesia sudah berada dalam cengkraman kapitalis asing. Akibatnya menjadi bangsa yang tidak mandiri. Dalam istilah Kuntowijoyo, bangsa klien.

Data di atas juga memperlihatkan adanya penetrasi penguasaan sumber daya strategis Indonesia (migas, mineral, batu bara, BUMN, perbankkan, keuangan, pangan) oleh asing yang dilakukan melalui kontrak/ investasi bisnis dan melalui “pengaturan” paket UU secara simultan yang dipandu dan dibiayai asing. Tentu saja, baik dengan sadar atau tanpa sadar, merugikan kepentingan nasional.

Dengan berbagai rekayasa, satu persatu BUMN/ Bank diprivatisasi sehingga perlahan tapi pasti, atas nama liberalisasi pasar, jatuh dalam cengkraman asing.

Sejalan dengan liberalisasi ekonomi, dilakukan pula liberalisasi politik dalam wujud demokrasi liberal. Meminjam istilah Rizal Ramli dan Ridwan Saidi Indonesia terjebak pada praktek demokrasi kriminal (crime democracy).

Proses dan outputnya penuh dengan kejahatan. Recruitment kepemimpinan nasional yang dihasilkan oleh model demokrasi seperti ini sebagian dipenuhi kaum oportunis, kurang nasionalis, pragmatis, transaksional, hedonis, tak bervisi dan lemahnya leadership. Ujungnya kualitas kepemimpinan nasional merosot tajam.

Sebagai sebuah tawaran sekaligus saran atas kondisi seperti yang terpapar di atas penulis ajukan beberapa gagasan. Pertama, praktek kriminal dalam demokrasi harus diakhiri agar melahirkan kader bangsa yang berkualitas. Mungkin dapat dipertimbangkan anggaran partai ditanggung negara dan iuran anggota, sehingga partai tidak dikuasai pemilik modal, bisa di audit dan kader partai terbaik bisa eksis. Mengingat strategisnya kedudukan anggota DPR RI (mengatur anggaran, membuat UU, pengawasan, fit and profer test pejabat-pejabat penting negara) maka rekruitmen anggota DPR RI tidak hanya diatur oleh partai masing-masing dan diserahkan ke “mekanisme pasar yang sangat transaksional”.

Kedua, untuk mencapai tujuan kemerdekaan sejati, agar rakyat sejahtera dan tidak terbelenggu kemiskinan abadi, seluruh energi bangsa; eksekutif, legislatif, yudikatif, tokoh bangsa, TNI, akademisi, LSM, media massa, hendaknya bersatu dan fokus di bawah panji Pancasila dan UUD 1945, berjuang bersama menguasai kembali sumber daya strategis yang terlanjur dominan dikuasai asing. Caranya adalah renegosiasi, evaluasi kritis, beli kembali/ buyback. Terhadap kontrak asing yang bermasalah secara hukum, lingkungan, masalah tanah, dan merugikan rakyat harus diambil alih oleh negara.

Konsekuensi dari gagasan tersebut, bisa saja Indonesia dianggap anti asing. Sebuah pandangan yang dirasa sah dan dapat dimaklumi. Namun, dalam kondisi seperti sekarang ini, Bangsa Indonesia tidak dapat bergantung pada asing, tetapi cukup menjadikannya sebagi pelengkap saja. Prioritas keberpihakan ditujukan untuk membangun kedaulatan ekonomi nasional, bukan menjadi antek asing dengan membiarkan rezim Neolib memperkosa bangsa.

Disadur dari: Majalah Intelijen No.16/Th VII/2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penerapan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Di Kelas dan Sekolah Sebagai Pusat Pengembangan Karakter

Tipe-Tipe Pembelajaran Kooperatif dan Teknik Aplikasinya

Jawaban modul 2.1.a.3 Program Guru Penggerak