Utang Luar Negeri

Utang Luar Negeri
Utang luar negeri atau dikenal dengan pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan/atau devisa yang dirupiahkan, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang yang butuh banyak dana untuk membangun negaranya. Bagaimana cara mendapatkan dana tersebut? Tentunya salah satunya adalah meminjam dan mendapat bantuan dari luar negeri. Jadi dapat kita ketahui alasan Indonesia melakukan pinjaman adalah karena Indonesia butuh modal untuk membangun dan menyelenggarakan pemerintahan yang mampu mensejahterakan masyarakatnya. Dengan harapan nantinya kita akan menjadi Negara yang mandiri dan bisa mengurangi intensitas peminjaman dari luar.
Pinjaman dana ini digunakan untuk Pembangunan, salah satunya adalah Pelita yaitu Pembangunan Lima Tahun yang terjadi di era pemerintahan Presiden Soeharto. Tidak hanya untuk pembangunan tetapi juga untuk mengembangkan perindustrian dan pertanian di Indonesia.
a. Dampak utang luar negeri
Dapat kita pastikan apabila kita meminjam tanpa mengembalikan akan ada konsekuensinya dan dampak buruk yang akan kita alami. Inilah yang dialami akibat Negara kita akibat berhutang terus menerus dan akhirnya hutang tersebut sulit untuk dibayar karena jumlahnya sudah sangat banyak. Puncaknya terjadilah yang namanya krisis moneter.
Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah, hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sector rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.
Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting, karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial. Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan. Yang paling utama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.
Memasuki tahun 2012 ini dapat kita lihat bagaimana perekonomian yang sedang berlangsung di Negara kita. Masih banyak kekurangan dan butuh dana yang banyak untuk melakukan program demi program. Sedangkan di lain sisi kita harus berusaha untuk membayar utang. Jangan sampai krisis moneter yang terjadi pada zaman presiden Soeharto itu terulang kembali
b. Ketidak efektifan utang luar negeri
Ketidakefektifan hutang luar negeri sebagai pemacu pembangunan ekonomi nasional disebabkan beberapa faktor. Pertama, hutang luar negeri tidak dialirkan ke kegiatan produktif yang bersifat cepat menghasilkan (quick yielding) atau menghasilkan produk-produk yang bisa diekspor. Kedua, hutang luar negeri dikorupsi oleh para pejabat dan kroni-kroninya. Pinjaman yang dikorup sekitar 30 persen.
Ketiga, pemerintah Indonesia tidak mampu memanfaatkan hutang luar negeri secara tepat dan efektif. Prioritas pembangunan ekonomi kurang tajam dan tidak terfokus. Karena itu, penggunaan dan pinjaman luar negeri tidak berdampak secara signifikan pada perbaikan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, penurunan tingkat kemiskinan dan perbaikan kualitas hidup. Keempat, adanya moral hazard para penguasa sehingga tidak ada dorongan yang kuat untuk melunasi hutang-hutang yang ada dan malah cenderung memperbesarnya. Kelima, belum adanya penegakan hukum yang kuat turut mempersubur penyalahgunaan dan kebocoran dalam pengelolaan pinjaman luar negeri
c. Solusi atas utang luar negeri
Beberapa skema tengah dipertimbangkan dan bahkan telah didiskusikan oleh Pemerintah Indonesia dengan Negara-negara kreditur dan IMF untuk menyelesaikan persoalan hutang luar negeri. Pertama, Pemerintah Indonesia telah meminta untuk melakukan penjadwalan hutang. Namun demikian, Pemerintah Indonesia tidak bisa sepenuhnya mendapatkan keringanan karena menurut ketentuan IMF, penundaan pembayaran cicilan dan bunga akan menimbulkan implikasi moratorium. Hal ini berarti bahwa Indonesia bisa terkena default dan akan sulit menerima kredit bam. Dalam kasus penjadwalan hutang ini, Indonesia boleh menunda pembayaran cicilan pokok pinjaman, namun tetap membayar bunga pinjaman.
Kedua, Indonesia telah mengusulkan skema pengurangan hutang (debt reduction) seperti yang pernah ditempuh oleh Afrika Selatan pada tahun 1982 dan pernah secara intensif dikampanyekan oleh Pemerintah Filipina sejak tahun I 990-an. Skema pengurangan hutang ini diajukan berdasarkan alasan bahwa Pemerintah yang sekarang tidak harus menanggung beban hutang yang dikorupsi oleh Pemerintah Orde Baru. Skema semacam ini disebut sebagai skema odious debt atau hutang yang "menjijikkan". Hanya saja hingga saat ini upaya ini agak sulit diterima oleh Negara kreditor karena mereka beranggapan bahwa masalah korupsi hutang luar negeri adalah masalah internal Indonesia. Namun demikian cara ini perlu terus dikampanyekan Pemerintah.
Perkembangan yang menarik adalah ada sejurnlah kreditor internasional yang tengah mempertimbangkan pemberian pengampunan (debt forgiveness atau hair cut) terhadap sebagian hutang luar negeri Indonesia. Jumlah yang layak diampuni sekitar sepertiga dari hutang luar negeri yang menurut Bank Dunia telah dikorup oleh rezim pemerintahan Soeharto.
Ketiga, skema pengampunan hutang (debt forgiveness) dan penundaan hutang (debt cancellation) tampakoya sulit diterima oleh negara-negara kreditur. Di masa lalu, ketika tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat cepat, agak janggal untuk meminta penundaan dan pengampunan hutang, karena semua lembaga keuangan internasional mempunyai keyakinan bahwa ekonomi Indonesia begitu baik dan tidak ada alasan untuk melakukan penundaan pembayaran. Jika cara ini ditempuh dikhawatirkan negara-negara kreditur tidak akan memberikan pinjaman bam kepada Indonesia dan skema ini bisa merusak citra Indonesia di mata internasional dan secara ekonomi dan politik bisa berakibat fatal. Hanya saja, sekarang keadaannya sangat berlainan, karena kita sudah terpuruk dan sudah mendapat bantuan khusus dari IMF dan berbagai lembaga keuangan internasional untuk menopang perekonomian kita. Oleh karena itu, upaya pengampunan hutang perlu terus diupayakan untuk meringankan beban hutang Indonesia yang sangat besar.
Karena skema-skema penjadwalan hutang luar negeri yang diupayakan Indonesia di atas belum sepenuhnya berhasil, maka pedu dilakukan berbagai upaya misalnya pembelian kembali hutang (debt buybacks), pengalihan hutang ke dalam obligasi (debt-for-equity swaps), pengalihan hutang untuk alam (debt-for-nature-swaps) atau pengalihan hutang untuk kemiskinan (debt-for-poverty-swaps).
Dengan debt buybacks, debitur secara lang sung membeli kembali hutang yang tidak bisa dibayar dengan harga diskon dari nilai mukanya. Dengan debt1or-equity-swaps, negara debitur menukarkan hutangnya ke mata uang domestik dengan harga diskon. Mata uang domestik ini dipergunakan kreditur untuk melakukan investasi di suatu perusahaan di negera debitur. Dengan debt-for-nature swaps, suatu kelompok yang bergerak dalam bidang konservasi dapat membeli hutang yang tidak bisa dibayar, dan bunganya digunakan oleh Pemerintah perninjam untuk melindungi lingkungan. Dernikian juga halnya dengan debtJor- poverty-swaps, negara kreditur bisa membeli kembali hutang yang tidak bisa dibayar dengan harga diskon, dan dikembalikan kepada negara debitur dengan ketentuan bahwa dana tersebut harus digunakan untuk menanggulangi masalah kemiskinan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Penerapan Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Di Kelas dan Sekolah Sebagai Pusat Pengembangan Karakter

Tipe-Tipe Pembelajaran Kooperatif dan Teknik Aplikasinya

Jawaban modul 2.1.a.3 Program Guru Penggerak